Minggu, 18 Oktober 2009

SISTEM DEMOKRASI MENUJU KEADILAN SOSIAL

SISTEM DEMOKRASI MENUJU KEADILAN SOSIAL


Apabila dalam demokrasi liberal kehidupannya bersendikan paham individualisme, maka dalam demokrasi sosial bersendikan paham kolektivisme atau kebersamaan. Paham kolektivisme yang pernah dikemukakan Bung Hatta ini, sesungghunnya merupakan paham dasar dari masyarakat Indonesia. Karena itulah, paham kolektivisme ini harus juga mewarnai semua bidang kehidupan dan haruslah menganggap bahwa seluruh masyarakat Indonesia bagaikan satu tubuh! Apabila ada bagian-bagian tubuh tertentu sakit, maka kita harus berlomba-lomba menyembuhkannya. Apabila ada bagian-bagian tubuh tertentu tertinggal jauh di belakang, maka kita harus mendorongnya maju. Setiap ketertinggalan yang dirasakan masyarakat kita harus pula dirasakan sebagai ketertinggalan kita semua. Karena itu, kemajuan, kemandirian, dan kemartabatan harus dirasakan serentak oleh seluruh rakyat. Tidak dibenarkan dalam paham kolektivisme ini kemajuan hanya dirasakan oleh segelintir orang, sementara sebagian besar yang lainnya hidup dalam keterbelakangan!
Nilai-nilai keagamaan yang sejak dulu telah berkembang dalam masyarakat kita tidak boleh dikecilkan artinya kemudian diganti secara serta merta dengan kehidupan yang materialistis. Karena itu, nilai-nilai keagamaan harus terus didorong pertumbuhannya, terutama nilai-nilai moralnya harus dipaksakan bermukim di hati sanubari seluruh rakyat terutama para pemimpin yang memiliki amanah dan tanggungjawab utama untuk membangun bangsa! Kaum nasionalis-kerakyatan harus menyadari bahwa terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah juga akibat langsung dari para pemimpin yang telah meninggalkan ajaran akhlak mulia dan nilai-nilai moral keagamaannya. Mereka telah dengan leluasa melakukan berbagai kecurangan seolah-olah Tuhan tidak menyaksikan dan bahkan menganggap-Nya tidak ada! Karena itu pula, dapatlah kita katakan bahwa asas nasionalisme kerakyatan adalah asas yang religius!
Sejak awal pembentukan Indonesia sebagai negara modern, tidaklah pernah ada keinginan menerapkan pemikiran demokrasi yang liberal. Terlebih lagi, rasa penderitaan yang dialami bangsa Indonesia selama ratusan tahun adalah akibat berkembangnya paham liberalisme di Eropa. Demokrasi liberal yang tidak lain adalah demokrasinya kaum borjuasi telah memisahkan secara nyata antara kehidupan politik, ekonomi dan aspek-aspek sosial lainnya, sehingga dengan menerapkan demokrasi liberal ini, telah terbukti membawa malapetaka pada sebagian besar masyarakatnya. Demikianlah keadaan yang terjadi di Eropa pada masa-masa awal pertumbuhan demokrasinya.
Demokrasi liberal ini adalah suatu demokrasi yang bersendikan paham individualisme, yaitu paham yang mengutamakan kepentingan pribadi dalam cara bermasyarakatnya. Karena itu, kaum nasionalis kerakyatan haruslah meninggalkan jauh-jauh sistem demokrasi liberal ini. Sebaliknya, yang harus kita bangun adalah suatu sistem demokrasi yang dengan seluas-luasnya memberikan dorongan penuh kepada rakyat untuk dapat mengembangkan kegiatan ekonomi dan berbagai kegiatan sosial lainnya di samping kegiatan politik. Sistem demokrasi yang harus kita terapkan adalah demokrasi dalam bidang politik, demokrasi dalam bidang ekonomi serta demokrasi dalam bidang-bidang sosial lainnya secara sekaligus, tanpa dipisah-pisahkan! Sistem demokrasi inilah yang kita sebut dengan demokrasi sosial. Dengan penerapan sistem ini, maka kesejahteraan rakyat akan mengiringi kebebasan politik. Bukan sebaliknya, kebebasan politik meninggalkan kesejahteraan rakyat jauh di belakang seperti sekarang ini!
Penerapan demokrasi sosial dalam bidang ekonomi yaitu dengan cara meningkatkan peran pemerintah sehingga lebih efektif dalam mengatur alokasi sumberdaya ekonomi. Terlebih lagi, keadaan ekonomi bangsa kita saat ini sangat timpang, baik itu ketimpangan yang bersifat regional, sektoral, desa-kota dan kaya-miskin. Kaum nasionalis-kerakyatan harus berkeyakinan bahwa tidak pernah ada dalam sejarah eknomi bangsa-bangsa di dunia, pemberdayaan rakyat dapat terjadi hanya dengan menyandarkan pada mekanisme pasar bebas semata! Bahkan sebaliknya yang terjadi adalah berupa krisis yang bersifat periodik yang pada akhirnya juga mengundang intervensi pemerintah.
Walaupun pengertian demokrasi sosial utamanya dimaksudkan untuk menyeimbangkan kehidupan politik dan kesejahteraan ekonomi, namun bukanlah berarti aspek-aspek kehidupan sosial lainnya diabaikan. Pengertian sosial yang melekat kepada kata demokrasi, berarti juga harus dapat mengembangkan aspek-aspek sosial yang tumbuh dalam masyarakat. Peradaban-peradaban lokal yang ada apalagi pernah mengalami masa adiluhung, tidak boleh terbunuh dalam sistem demokrasi sosial ini, bahkan pertumbuhannya harus dapat didorong. Hal ini sangat berbeda dengan demokrasi liberal yang menjadikan segelintir elit menjadi agen peradaban. Terlebih lagi peradaban yang dilahirkannya semata-mata berasal dari paham yang materialistis!

Sabtu, 17 Oktober 2009

MAHASISWA DALAM PERGULATAN POLITIK KONTEMPORER DI INDONESIA

MAHASISWA DALAM PERGULATAN POLITIK KONTEMPORER DI INDONESIA

Pembicaraan tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir semua kalangan masyarakat. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula berbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks kepeduliannya dalam merespon masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang demikian itu memang sangat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi pada penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas kepeduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Karena begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Alasan utama mengapa penulis menempatkan gerakan mahasiswa dalam tulisan ini adalah tidak lain karena peran gerakan mahasiswa tersebut sebagai pelopor dan penggerak dalam membela rakyat dari berbagai tirani dan segala bentuk ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Mahasiswa dan gerakannya yang senantiasa mengusung panji-panji keadilan, kejujuran, selalu hadir dengan ketegasan dan keberanian. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Mahasiswa yang merupakan sosok pertengahan dalam masyarakat yang masih idealis namun pada realitasnya terkadang harus keluar dari idealitasnya. Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Sebuah konsep yang cukup ideal bagi sebuah pergerakan mahasiswa walau tak jarang pemihakan-pemihakan tersebut tidak pada tempatnya.
Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas. Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak. Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat jiwa patriotik yang dapat membius semangat juang lebih radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Berbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa jika dibandingkan dengan intelektual profesional, lebih punya keahlian dan efektif. Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain mengiringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekuatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif layaknya bola salju, semakin lama semakin besar. Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa penggulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik.

AKTIVIS MAHASISWA ADALAH JATI DIRI MASA DEPAN BANGSA

AKTIVIS MAHASISWA ADALAH JATI DIRI MASA DEPAN BANGSA

Mahasiswa merupakan golongan masyarakat yang mendapatkan pendidikan tertinggi, dan punya perspektif luas untuk bergerak diseluruh aspek kehidupan dan merupakan generasi yang bersinggungan langsung dengan kehidupan akademis dan politik, oleh sebab itu adanya miniature state dikalangan mahasiswa merupakan proses pembelajaran politik untuk mahasiswa walaupun pada akhirnya dalam tataran politik praktis, gerakan-gerakan mahasiswa idealnya harus tetap bersifat independent dan tidak terjebak pada sikap pragmatis dan oportunis. Tapi pada kenyataannya saat ini banyak gerakan mahasiswa yang sudah ditumpangi elit-elit politik sehingga mereka tidak bisa bergerak bebas untuk menjalankan fungsinya sebagai alat control politik karena terikat perjanjian dengan elit politik tersebut. Hal inipun disinyalir penyebabab melempemnya gerakan mahasiswa pasca reformasi Selain itu telah terjadi fragmentasi di intern gerakan mahasiswa itu sendiri yang disebabkan perbedaan ideology dan cara pandang terhadap permasalahan tertentu, dan munculnya mahasiswa opurtunis di tubuh gerakan mahasiswa dimanfaatkan kepentingan individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi mereka. Bahkan ada stigma yang berkembang di masyrakat bahwa untuk membiyai kebutuhan logistic organisasi agar program kerja organisasi tetap terlaksana akhirnya gerakan mahasiswa pun terjebak pada UUD “Ujung-Ujungya Duit” dan tumbuhlah budaya ABS “Asal Bapak Senang”, hal ini merupakan momok bagi pergerakan mahasiswa yang selama ini dikenal sebagai golongan masyarakat yang idealis dan berpihak pada masyarakat, untuk mengembalikan kembali image itu kita perlu belajar pada sejarah sebagaimana pepatah para ilmuan Prancis , L’ Histoire Se Repete (sejarah akan selalu berulang) untuk itu maka sepatutnyalah saat ini gerakan mahasiswa mulai merekontruksi soliditas gerakan dan menjalin komunikasi lintas gerakan dengan menghilangkan kecurigaan dan merasa benar sendiri (high egoisme), dan mulailah untuk kembali menata idealisme dan mengavaluasi format gerakan mahasiswa selama ini. Hal-hal tersebut harus diupayakan dalam rangka mengefektifkan kembali mahasiswa sebagai preasure penguasa.
MAHASISWA yang memiliki predikat educated midle class dari dulu hingga kini akan selalu memiliki fungsi strategis, yaitu sebagai iron stock, agent of change, dan social control. Yang terakhir disebut adalah fungsi mahasiswa secara taktis yang merespons realitas di masyarakat untuk menjaga keseimbangan sosial antara pemerintah sebagai pengelola dan rakyat sebagai yang dikelola. Sebagai social control (kontrol sosial) mahasiswa mendapat beban moral menjadi penengah antara kaum elite dan alit, menjadi mediator publik. Fungsi taktis mahasiswa sebagai kontrol sosial dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu peran mahasiswa sebagai "alarm" dan peran mahasiswa sebagai "palu". Sebagai alarm mahasiswa berfungsi sebagai pemberi sinyal adanya kesenjangan antara harapan publik dan penguasa sebagai pemberi hak publik. Secara otomatis, sinyal itu menjadi alarm bagi pemerintah untuk melakukan koreksi diri. Dengan kata lain, mahasiswa melakukan gerakan untuk mengingatkan pemerintah melalui aksi-aksi mahasiswa, baik aksi agitasi maupun aksi turun ke jalan. Peran ini menjadi alternatif pertama gerakan mahasiswa sebagai kontrol sosial yang memiliki dampak tak langsung dalam menyelesaikan permasalahan sosial. Peran kedua mahasiswa sebagai palu adalah alternatif berikutnya yang ditempuh ketika peran sebagai alarm tidak membuahkan solusi pasti. Pada tahap ini gerakan mahasiswa langsung berdampak pada perubahan sosial. Mahasiswa tidak lagi bersifat pasif, akan tetapi aktif dalam melakukan perubahan sosial. Peran mahasiswa dalam melakukan kontrol sosial mutlak diperlukan untuk mencegah adanya akumulasi kekuasaan di tubuh pemerintahan yang sedang berjalan. Kebekuan gerakan mahasiswa selama 32 tahun pada masa pemerintahan Soeharto menjadi jalan bebas hambatan bagi pemerintah saat itu dalam mengabadikan kekuasaan. Fakta ini membuktikan bahwa mahasiswa sebagai kontrol sosial menjadi garda terdepan dalam menjaga kestabilan sosial. Fungsi taktis yang menopang peran mahasiswa dalam mengawasi pemerintah bukan tanpa masalah. Saat ini mahasiswa mulai kehilangan format gerakan yang tepat dalam menjalankan fungsinya tersebut. Gerakan yang dilakukan mahasiswa harus bisa menjadi problem solver yang memecah kebuntuan polemik pemerintah yang berkuasa. Sudah saatnya mahasiswa kembali merevitalisasi gerakannya dalam mengawasi pemerintah. Melakukan aksi moral intelektual dalam memformat gerakan mahasiswa, menjaga idealisme tanpa melupakan realitas lingkungan, melakukan gerakan yang bersinergi dengan logika perut rakyat serta membangun sense of crisis mahasiswa. Dengan hal-hal tersebut mahasiswa dapat melakukan fungsi taktisnya dalam mengawasi pemerintah, dalam hal ini mahasiswa menjadikan pemerintah tidak sebagai musuh akan tetapi mitra menyejahterakan masyarakat

Jumat, 16 Oktober 2009

MASIHKAH NASINALISME ADA DI HATI PEMUDA DAN RAKJAT INDONESIA

MASIHKAH NASINALISME ADA DI HATI PEMUDA DAN RAKJAT INDONESIA

Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah Proklamasi Kebangsaan Indonesia yang merupakan ikrar tentang eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia yang telah tumbuh puluhan tahun dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945 mencapai titik kulminasi dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Hal itu membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia sudah merupakan faktor penentu perkembangan sejarah Indonesia – sejarah berdirinya negara Republik Indonesia.
Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama; kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia. Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dengan jelas dinyatakan “atas nama bangsa Indonesia”, sedang dalam Pembukaan UUD 1945 secara tegas dikatakan, "Segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Proklamasi Kebangsaan Indonesia tersebut dalam sejarah perkembangannya telah memberi makna yang sangat signifikan bagi nation building dan pemantapan kesadaran nasionalisme Indonesia. Proses pengembangan kesadaran nasionalisme Indonesia dipelopori oleh Bung Karno (terutama) sejak masa mudanya, yang berkeyakinan bahwa hanya dengan ide dan jiwa nasionalismelah sekat-sekat etnik, suku, agama, budaya dan tanah kelahiran bisa ditembus untuk menggalang persatuan perjuangan melawan kolonialisme. Dalam artikel-artikelnya, banyak pidato dan diskusinya masalah nasionalisme dengan gencar diperjuangkan oleh Bung Karno. Bahkan sekat-sekat ideologipun oleh Bung Karno ditebas tanpa ampun demi perjuangan tersebut (baca: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” yang ditulis Bung Karno 1926.).
Berdirinya Republik Indonesia tersebut telah memberi bukti bahwa nation Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tapi hidup-aktif dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa. Eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang tidak dapat dinegasikan oleh teori-teori atau analisis-analisis apapun. Analisis atau pandangan yang menyimpulkan bahwa “IndonesiĆ« bestaat niet” (Indonesia itu tidak ada) dengan alasan kata “Indonesia” berasal dari asing telah mengalami kegagalan, tidak laku dijajakan sebagai wacana untuk memanipulasi nasionalisme Indonesia dan untuk memecah belah bangsa serta integritas NKRI. Suka atau tidak suka, harus diakui keberadaan bangsa Indonesia dengan kesadaran nasionalismenya, dan keberadaan negara Indonesia dengan segala atributnya sebagai suatu fakta yang tidak dapat disangkal oleh siapapun.

Bicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak bisa menerapkan padanan dengan nasionalisme Barat. Sebab nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berpondasi Pancasila. Artinya nasionalisme tersebut bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Bung Karno disebut Socio-nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa/suku bangsa lain. Maka nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus ke sovinisme -- nasionalisme sempit – yang membenci bangsa/sukubangsa lain, menganggap bangsa/sukubangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul dll. sesuai dengan individualisme Barat. Nasionalisme Indonesia sampai tahun 1965 sudah mantap bersemayam di dada bangsa Indonesia. Tahap nation building telah tercapai dan bersiap-siaga untuk menuju ke tahap berikutnya – state building, yang terhambat dan rusak berat dalam perjuangan untuk nation building, perjuangan melawan pemberontakan-pemberontakan dan sisa-sisa kolonialisme. Tapi tahap perjuangan state building ini ternyata terpangkas oleh timbulnya peristiwa G30S dan berdirinya kekuasaan rezim Orde Baru/Jendral Soeharto.

Dewasa ini harus diakui bahwa kesadaran Nasionalisme sedang mengidap banyak masalah berat, yang memerlukan pembenahan secara serius. Kegagalan pembenahannya akan mempunyai dampak terhadap persatuan bangsa dan kesatuan negara Indonesia. Dengan kilas balik ke sejarah lampau, kita melihat jelas bahwa selama Indonesia dalam kekuasaan rezim Orba berlaku tatanan pemerintahan kediktatoran-militer yang anti demokrasi, anti national, anti HAM, anti hukum dan keadilan, yang menumpas ideal nasionalisme Indonesia. Kekuasaan demikian, yang berlangsung selama 32 tahun dan menggunakan pendekatan kekerasan, telah mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat, memperbodoh rakyat. Di sisi lain tindakan rezim Orba tersebut menumbuhkan kebencian rakyat mendasar, terutama rakyat luar Jawa yang merasakan kekayaan alamnya dijarah dan kebudayaannya dieliminir. Maka tidaklah salah kalau dikatakan terjadi penjajahan oleh rezim Orba/rezim Soeharto. Kolonialisme Orba ini meskipun hanya 32 tahun (suatu jangka waktu relatif pendek jika dibandingkan dengan penjajahan kolonialisme Belanda) menjajah Indonesia tapi kerusakan yang diakibatkannya telah menimbulkan krisis multi dimensional yang luar biasa, kemelaratan dan kesengsaraan rakyat yang tak terhingga. Dari situasi yang demikian itu rakyat daerah luar Jawa merasakan ketidak adilan yang sangat mendalam, yang mengakibatkan tumbuhnya benih-benih gerakan disintegrasi dalam negara Indonesia. Di samping itu konflik yang bernuansa SARA, mis.: antara suku Dayak dengan suku Madura (di Kalimantan), antara ummat Kristen dengan ummat Islam (di Maluku dan Sulawesi), penganiayaan fisik dan pengrusakan hartabenda etnik Tionghoa (di Jakarta) dll. adalah juga tengara retaknya bangunan nasionalisme Indonesia.

Maka dengan demikian menjadi jelas bahwa sumber keretakan bangunan nasionalisme tersebut, adalah kekuasaan rezim Orde Baru di bawah pimpinan jendral Soeharto. Tanpa mengetahui sumber malapetaka tersebut kita tidak akan bisa dengan tepat memperbaiki/menyehatkan nasionalisme Indonesia yang sedang sakit tersebut.
Sedang hujatan-hujatan terhadap “Pusat” tanpa kejelasan Pusat itu siapa, akan mengarah kepada solusi yang keblinger, yang hanya akan memperparah nasionalisme yang sedang sakit dewasa ini. Mengacu pada uraian di atas Pusat harus diartikan kekuasaan rezim Orba (termasuk rezim Habibie). Akan tidak benarlah kalau pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati dimasukkan dalam kategori Pusat yang harus dikutuk seperti rezim Orba. Sebab tanpa menutup kekurangan-kekurangannya pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati adalah pemerintahan reformasi yang terpaksa menerima warisan segala kebobrokan rezim Orba. Kedua pemerintahan tersebut tidak mungkin bisa memperbaiki keadaan negara yang amburadul dewasa ini, bahkan siapa pun yang akan memegang pemerintahan kelak. Kalau mereka bisa mengadakan seberapa pun perbaikan, itu adalah suatu kemajuan dan keberhasilan. Sedang pemlintiran kata “pusat” diidentikkan dengan suku Jawa (sehingga timbul tuduhan dijajah oleh Jawa), jelas hal itu bertujuan untuk menimbulkan rasa ketidaksenangan, permusuhan antara suku non-Jawa terhadap suku Jawa. Jadi kalau kita ingin mencari akar penyebab retaknya ideal nasionalisme Indonesia, tidak boleh tidak kita harus tunjuk hidung pada kekuasaan rezim Orde Baru/Soeharto, yang dengan kejam menjajah dan rakus menjarah kekayaan daerah.

Ada suatu pendapat bahwa nasionalisme rentan terhadap manipulasi (Arief Budiman). Pendapat tersebut tidak salah. Tapi perlu penegasan lebih lanjut, bahwa tidak hanya nasionalisme saja yang rentan manipulasi, pun hukum, demokrasi, humanisme, keadilan, Pancasila demikian juga. Kerentanan itu harus dipandang sebagai konsekwensi/akibat proses demokrasi yang belum mantap dan budaya orba yang masih eksis di semua lapangan kehidupan. Pengalaman tragedi bangsa dan negara selama 32 tahun dalam kekuasaan rezim orde baru telah membuktikan hal tersebut. Bahkan apa saja bisa dimanipulasi oleh rezim Orde Baru kala itu dengan segala cara termasuk politik kekerasan.

Tapi akan menuju ke kesimpulan sesat apabila kerentanan nasionalisme dikarenakan oleh bentuk negara: negara kesatuan atau negara federal, tanpa menunjukkan raison d’etre sesungguhnya yaitu politik diktatur-fasis penyelenggara negara yang berkuasa saat itu (orde baru). Sebab manakala seseorang tidak mengkaitkan kebobrokan bangsa dan negara ini dengan kekuasan rejim orde baru sebagai sumber penyebabnya, maka kesimpulannya akan tidak jujur dan tidak obyektif. Baik hal itu kebobrokan dalam bidang kehidupan bermasyarkat dan bernegara maupun dalam bidang-bidang khusus – hukum, keadilan HAM, ekonomi, moral/budaya. Dengan demikian, manakala seseorang mempersoalkan bentuk negara kesatuan RI sebagai penyebab rusaknya nasionalisme Indonesia tidak bisa dibenarkan. Dan dari situ, juga tidak dapat dibenarkan solusi pembentukan negara federasi sebagai penyembuh nasionalisme Indonesia yang sedang sakit dewasa ini.
Acuan pada kasus runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia tidaklah bisa membuktikan kebenaran tesis di atas. Pertama-tama, banyak orang dari permulaan tidak melihat bahwa sesungguhnya negara-negara tersebut adalah negara federasi. Bahkan sistem federasi Uni Soviet mempunyai struktur yang paling desentralistik di dunia : Uni Soviet sebagai Negara Federasi, terdiri a.l. negara bagian yang berbentuk federasi juga (misalnya negara bagian Rusia), sedang di dalam struktur beberapa negara-bagian yang lain terdapat republik-otonom, yang semuanya lengkap dengan segala alat perlengkapan negara. Tapi toh Negara Federasi Uni Soviet jatuh berantakan. Dengan demikian solusi pembentukan negara federal dalam kaitannya dengan masalah nasionalisme Indonesia tidak dapat dibenarkan.

Di samping itu masih ada lagi alasan-alasan yang tidak membenarkan solusi pembentukan negara federal di Indonesia:
a. Dalam situasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sangat rawan dewasa ini (gagasan) pembentukan negara federal sama artinya mengobarkan dan mempercepat proses disintegrasi. Sesungguhnya solusi pembentukaan otonomi luas bagi daerah-daerah sudah tepat sekali, meskipun realisasinya masih menghadapi kendala-kendala yang sangat serius.
b. Dalam membaca peta politik dewasa ini tampak bahwa kekuatan Orde Baru masih utuh di mana-mana, bahkan konsolidasinya makin menguat. Kalau pada era kejayaannya, semboyan “mempertahankan Negara Kesatuan (NKRI)”, semata-mata sebagai taktik untuk mempermudah realisasi strategi kolonialisme terhadap daerah-daerah. Maka dalam era reformasi dewasa ini gagasan pembentukan Negara Federal akan merupakan kesempatan bagus bagi kekuatan Orde Baru untuk mendirikan rezim-rezim Orba di daerah-daerah, sebab mereka memiliki sumber dana dan sumber daya manusia sangat besar.
Dari persoalan-persoalan yang terurai di atas, sampailah pada pertanyaan bagaimana perspektif nasionalisme Indonesia ini. Di kalangan masyarakat timbul pandangan pesimistik, yang menjadi dasar pendorong untuk pembenaran gagasan-gagasan disintegrasi. Tapi di samping itu terdapat pandangan optimistik yang cukup kuat. Penulis yang termasuk dalam golongan terakhir berpendapat, bahwa nasionalisme Indonesia bisa “sehat”, sebab sebagian besar rakyat Indonesia masih teguh jiwa patriotismenya, cinta bangsa dan tanah air Indonesia. Tapi hal itu sulit akan terjadi apabila tidak didasari oleh upaya-upaya serius oleh penyelenggara negara untuk:
1. Pembangunan ekonomi di semua daerah secara merata dan realisasi otonomi daerah secara luas.
2. Penegakan demokrasi yang tidak anarkhistik, supremasi hukum yang berkeadilan dan demokratik.
3. Penggalakan kehidupan bersuasana toleransi, aman-damai dan rukun dalam masyarakat yang multi agama, suku, etnik dan budaya.

Kegagalan atas upaya tersebut di atas akan mempercepat berlanjutnya proses penipisian kesadaran nasionalisme Indonesia, yang akan berakibat semaraknya gerakan disintegrasi bangsa dan negara. Inilah tugas berat pemerintahan Megawati dewasa ini. Tetapi tuntutan yang tidak proporsional terhadap Megawati adalah suatu kecupetan pikir. Sebab sebagai pemerintahan transisional dia tidak mungkin mensukseskan tugas-tugas di atas secara tuntas, dan cepat berhubung kerusakan yang diakibatkan oleh rezim Orba begitu hebat. Mungkin dalam waktu 10 tahun mendatang baru akan tampak hasil yang signifikan. Jadi kalau sekarang ini pemerintahan Megawati sudah “berhasil” menenteramkan kerusuhan-kerusuhan di Maluku, Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah; kalau dia berhasil mengerem laju proses disintegrasi di beberapa daerah, men”stabil”kan ekonomi sudah dapat dikatakan suatu kesuksesan. Maka adalah tugas kita semua untuk membantu pemerintahan Megawati dalam memperbaiki kerusakan-kerusakan negara dewasa ini. Penggoyangan pemerintahan Megawati, apalagi seruan penggulingan terhadapnya, adalah tindakan tidak bertanggung jawab dan berpenyakit kekanak-kanakan (kekiri-kirian), yang akan hanya menguntungkan kekuatan Orde Baru saja yang kini masih kuat bercokol di semua bidang. Memang pemerintahan Megawati memiliki tidak sedikit kekurangan, tapi itu adalah kekurangan obyektif dalam situasi transisi dewasa ini. Jadi strategi dan taktik perjuangan harus disesuaikan dengan peta politik dewasa ini.
Mau tidak mau PDI Perjuangan harus diakui sebagai benteng pertahanan nasionalisme (sosio-nasionalisme) yang kini menghadapi lawan politik yang tidak ringan. Maka perpecahan di dalam partai yang dilanjutkan dengan pembentukan partai-partai baru oleh beberapa tokoh yang nyempal, dapat disesalkan. Dan lebih disesalkan lagi “hantaman” dari salah satu keluarga Bung Karno sendiri terhadap pemerintahan Megawati. Bukankah itu semuanya merupakan tindakan pecah belah kekuatan nasionalis? Yang seharusnya mereka semua – kaum nasionalis – menyatukan diri mensukseskan tugas pemerintah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan akibat kezaliman rezim Orba? Dalam hal ini wajar adanya pertanyaan: siapa yang diuntungkan? Tentu saja jawabnya: kekuatan Orde Baru. Apakah ini bukan berarti terperangkap dalam skenario licin, licik dan jijik dari kekuatan Orde Baru? Mudah-mudahan kekuatan nasionalis menyadari hal tersebut dan bersatu dalam satu front perjuangan politik demi keselamatan Negara Kesatuan RI, Pancasila dan UUD 45. Hanya dengan demikian ada harapan besar untuk suksesnya penegakan ideal nasionalisme Indonesia yang telah dicabik-cabik oleh kekuasaan fasis Orde Baru.


Kamis, 15 Oktober 2009

KABINET BALAS JASA

KABINET BALAS JASA

Pengamat politik Yusuf Ahmad Dalam Diskusi Rutin FORMADEM Di Surakarta memprediksi kabinet yang terbentuk pada pemerintahan berikutnya, periode 2009-2014, akan kental dengan nuansa "balas jasa" politik. Fenomena ini, menurut dia, sebenarnya sudah terjadi pada Kabinet Indonesia Bersatu, Kabinet Gotong Royong di era Megawati, dan Kabinet Kesatuan Nasional pada masa Abdurrahman Wahid. Kabinet dengan latar "balas jasa", dikatakan coordinator nasional FORMADEM ini lebih bersifat politis. Salah satu faktornya karena presiden terpilih memiliki kekuatan dukungan parlemen yang minim. Kabinet 2009-2014 menurut Ketua Jamaah Ahlul Bidah Indonesia ini akan jauh lebih bersifat politik. SBY menang lagi, dia didukung koalisi partai-partai yang menuntut porsi di cabinet, Riak-riak tuntutan porsi di kabinet sudah mulai muncul dengan statement sejumlah parpol mengenai jatah yang akan didapatkan jika pasangan calon yang diusung meraih kemenangan. "Apakah presiden yang terpilih nanti bisa meminimalkan potensi pemenuhan 'balas jasa' politik? Kalau tidak, siap-siap saja agenda bangsa akan banyak yang terbengkalai. Apalagi, jika sinyalemen benar bahwa duduk di kabinet menjadi ATM (mesin penarik yang) bagi partai politik," Seharusnya, dalam pandanganYusuf pembentukan kabinet tidak sekadar mendasarkan pada sesuatu yang bersifat politis. Hal ini akan membuat banyak janji presiden kepada rakyat tidak akan terpenuhi dan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih akan sulit tercapai. Ia juga memberikan masukan, ke depannya capres dan cawapres hendaknya berakar dari kekuatan politik yang seimbang. "Kalau imbang, maka negosiasi koalisi di kabinet akan lebih diminimalkan," kata Yusuf Ahmad