Minggu, 18 Oktober 2009

SISTEM DEMOKRASI MENUJU KEADILAN SOSIAL

SISTEM DEMOKRASI MENUJU KEADILAN SOSIAL


Apabila dalam demokrasi liberal kehidupannya bersendikan paham individualisme, maka dalam demokrasi sosial bersendikan paham kolektivisme atau kebersamaan. Paham kolektivisme yang pernah dikemukakan Bung Hatta ini, sesungghunnya merupakan paham dasar dari masyarakat Indonesia. Karena itulah, paham kolektivisme ini harus juga mewarnai semua bidang kehidupan dan haruslah menganggap bahwa seluruh masyarakat Indonesia bagaikan satu tubuh! Apabila ada bagian-bagian tubuh tertentu sakit, maka kita harus berlomba-lomba menyembuhkannya. Apabila ada bagian-bagian tubuh tertentu tertinggal jauh di belakang, maka kita harus mendorongnya maju. Setiap ketertinggalan yang dirasakan masyarakat kita harus pula dirasakan sebagai ketertinggalan kita semua. Karena itu, kemajuan, kemandirian, dan kemartabatan harus dirasakan serentak oleh seluruh rakyat. Tidak dibenarkan dalam paham kolektivisme ini kemajuan hanya dirasakan oleh segelintir orang, sementara sebagian besar yang lainnya hidup dalam keterbelakangan!
Nilai-nilai keagamaan yang sejak dulu telah berkembang dalam masyarakat kita tidak boleh dikecilkan artinya kemudian diganti secara serta merta dengan kehidupan yang materialistis. Karena itu, nilai-nilai keagamaan harus terus didorong pertumbuhannya, terutama nilai-nilai moralnya harus dipaksakan bermukim di hati sanubari seluruh rakyat terutama para pemimpin yang memiliki amanah dan tanggungjawab utama untuk membangun bangsa! Kaum nasionalis-kerakyatan harus menyadari bahwa terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah juga akibat langsung dari para pemimpin yang telah meninggalkan ajaran akhlak mulia dan nilai-nilai moral keagamaannya. Mereka telah dengan leluasa melakukan berbagai kecurangan seolah-olah Tuhan tidak menyaksikan dan bahkan menganggap-Nya tidak ada! Karena itu pula, dapatlah kita katakan bahwa asas nasionalisme kerakyatan adalah asas yang religius!
Sejak awal pembentukan Indonesia sebagai negara modern, tidaklah pernah ada keinginan menerapkan pemikiran demokrasi yang liberal. Terlebih lagi, rasa penderitaan yang dialami bangsa Indonesia selama ratusan tahun adalah akibat berkembangnya paham liberalisme di Eropa. Demokrasi liberal yang tidak lain adalah demokrasinya kaum borjuasi telah memisahkan secara nyata antara kehidupan politik, ekonomi dan aspek-aspek sosial lainnya, sehingga dengan menerapkan demokrasi liberal ini, telah terbukti membawa malapetaka pada sebagian besar masyarakatnya. Demikianlah keadaan yang terjadi di Eropa pada masa-masa awal pertumbuhan demokrasinya.
Demokrasi liberal ini adalah suatu demokrasi yang bersendikan paham individualisme, yaitu paham yang mengutamakan kepentingan pribadi dalam cara bermasyarakatnya. Karena itu, kaum nasionalis kerakyatan haruslah meninggalkan jauh-jauh sistem demokrasi liberal ini. Sebaliknya, yang harus kita bangun adalah suatu sistem demokrasi yang dengan seluas-luasnya memberikan dorongan penuh kepada rakyat untuk dapat mengembangkan kegiatan ekonomi dan berbagai kegiatan sosial lainnya di samping kegiatan politik. Sistem demokrasi yang harus kita terapkan adalah demokrasi dalam bidang politik, demokrasi dalam bidang ekonomi serta demokrasi dalam bidang-bidang sosial lainnya secara sekaligus, tanpa dipisah-pisahkan! Sistem demokrasi inilah yang kita sebut dengan demokrasi sosial. Dengan penerapan sistem ini, maka kesejahteraan rakyat akan mengiringi kebebasan politik. Bukan sebaliknya, kebebasan politik meninggalkan kesejahteraan rakyat jauh di belakang seperti sekarang ini!
Penerapan demokrasi sosial dalam bidang ekonomi yaitu dengan cara meningkatkan peran pemerintah sehingga lebih efektif dalam mengatur alokasi sumberdaya ekonomi. Terlebih lagi, keadaan ekonomi bangsa kita saat ini sangat timpang, baik itu ketimpangan yang bersifat regional, sektoral, desa-kota dan kaya-miskin. Kaum nasionalis-kerakyatan harus berkeyakinan bahwa tidak pernah ada dalam sejarah eknomi bangsa-bangsa di dunia, pemberdayaan rakyat dapat terjadi hanya dengan menyandarkan pada mekanisme pasar bebas semata! Bahkan sebaliknya yang terjadi adalah berupa krisis yang bersifat periodik yang pada akhirnya juga mengundang intervensi pemerintah.
Walaupun pengertian demokrasi sosial utamanya dimaksudkan untuk menyeimbangkan kehidupan politik dan kesejahteraan ekonomi, namun bukanlah berarti aspek-aspek kehidupan sosial lainnya diabaikan. Pengertian sosial yang melekat kepada kata demokrasi, berarti juga harus dapat mengembangkan aspek-aspek sosial yang tumbuh dalam masyarakat. Peradaban-peradaban lokal yang ada apalagi pernah mengalami masa adiluhung, tidak boleh terbunuh dalam sistem demokrasi sosial ini, bahkan pertumbuhannya harus dapat didorong. Hal ini sangat berbeda dengan demokrasi liberal yang menjadikan segelintir elit menjadi agen peradaban. Terlebih lagi peradaban yang dilahirkannya semata-mata berasal dari paham yang materialistis!

Sabtu, 17 Oktober 2009

MAHASISWA DALAM PERGULATAN POLITIK KONTEMPORER DI INDONESIA

MAHASISWA DALAM PERGULATAN POLITIK KONTEMPORER DI INDONESIA

Pembicaraan tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir semua kalangan masyarakat. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula berbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks kepeduliannya dalam merespon masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang demikian itu memang sangat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi pada penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas kepeduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Karena begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Alasan utama mengapa penulis menempatkan gerakan mahasiswa dalam tulisan ini adalah tidak lain karena peran gerakan mahasiswa tersebut sebagai pelopor dan penggerak dalam membela rakyat dari berbagai tirani dan segala bentuk ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Mahasiswa dan gerakannya yang senantiasa mengusung panji-panji keadilan, kejujuran, selalu hadir dengan ketegasan dan keberanian. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Mahasiswa yang merupakan sosok pertengahan dalam masyarakat yang masih idealis namun pada realitasnya terkadang harus keluar dari idealitasnya. Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Sebuah konsep yang cukup ideal bagi sebuah pergerakan mahasiswa walau tak jarang pemihakan-pemihakan tersebut tidak pada tempatnya.
Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas. Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak. Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat jiwa patriotik yang dapat membius semangat juang lebih radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Berbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa jika dibandingkan dengan intelektual profesional, lebih punya keahlian dan efektif. Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain mengiringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekuatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif layaknya bola salju, semakin lama semakin besar. Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa penggulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik.

AKTIVIS MAHASISWA ADALAH JATI DIRI MASA DEPAN BANGSA

AKTIVIS MAHASISWA ADALAH JATI DIRI MASA DEPAN BANGSA

Mahasiswa merupakan golongan masyarakat yang mendapatkan pendidikan tertinggi, dan punya perspektif luas untuk bergerak diseluruh aspek kehidupan dan merupakan generasi yang bersinggungan langsung dengan kehidupan akademis dan politik, oleh sebab itu adanya miniature state dikalangan mahasiswa merupakan proses pembelajaran politik untuk mahasiswa walaupun pada akhirnya dalam tataran politik praktis, gerakan-gerakan mahasiswa idealnya harus tetap bersifat independent dan tidak terjebak pada sikap pragmatis dan oportunis. Tapi pada kenyataannya saat ini banyak gerakan mahasiswa yang sudah ditumpangi elit-elit politik sehingga mereka tidak bisa bergerak bebas untuk menjalankan fungsinya sebagai alat control politik karena terikat perjanjian dengan elit politik tersebut. Hal inipun disinyalir penyebabab melempemnya gerakan mahasiswa pasca reformasi Selain itu telah terjadi fragmentasi di intern gerakan mahasiswa itu sendiri yang disebabkan perbedaan ideology dan cara pandang terhadap permasalahan tertentu, dan munculnya mahasiswa opurtunis di tubuh gerakan mahasiswa dimanfaatkan kepentingan individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi mereka. Bahkan ada stigma yang berkembang di masyrakat bahwa untuk membiyai kebutuhan logistic organisasi agar program kerja organisasi tetap terlaksana akhirnya gerakan mahasiswa pun terjebak pada UUD “Ujung-Ujungya Duit” dan tumbuhlah budaya ABS “Asal Bapak Senang”, hal ini merupakan momok bagi pergerakan mahasiswa yang selama ini dikenal sebagai golongan masyarakat yang idealis dan berpihak pada masyarakat, untuk mengembalikan kembali image itu kita perlu belajar pada sejarah sebagaimana pepatah para ilmuan Prancis , L’ Histoire Se Repete (sejarah akan selalu berulang) untuk itu maka sepatutnyalah saat ini gerakan mahasiswa mulai merekontruksi soliditas gerakan dan menjalin komunikasi lintas gerakan dengan menghilangkan kecurigaan dan merasa benar sendiri (high egoisme), dan mulailah untuk kembali menata idealisme dan mengavaluasi format gerakan mahasiswa selama ini. Hal-hal tersebut harus diupayakan dalam rangka mengefektifkan kembali mahasiswa sebagai preasure penguasa.
MAHASISWA yang memiliki predikat educated midle class dari dulu hingga kini akan selalu memiliki fungsi strategis, yaitu sebagai iron stock, agent of change, dan social control. Yang terakhir disebut adalah fungsi mahasiswa secara taktis yang merespons realitas di masyarakat untuk menjaga keseimbangan sosial antara pemerintah sebagai pengelola dan rakyat sebagai yang dikelola. Sebagai social control (kontrol sosial) mahasiswa mendapat beban moral menjadi penengah antara kaum elite dan alit, menjadi mediator publik. Fungsi taktis mahasiswa sebagai kontrol sosial dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu peran mahasiswa sebagai "alarm" dan peran mahasiswa sebagai "palu". Sebagai alarm mahasiswa berfungsi sebagai pemberi sinyal adanya kesenjangan antara harapan publik dan penguasa sebagai pemberi hak publik. Secara otomatis, sinyal itu menjadi alarm bagi pemerintah untuk melakukan koreksi diri. Dengan kata lain, mahasiswa melakukan gerakan untuk mengingatkan pemerintah melalui aksi-aksi mahasiswa, baik aksi agitasi maupun aksi turun ke jalan. Peran ini menjadi alternatif pertama gerakan mahasiswa sebagai kontrol sosial yang memiliki dampak tak langsung dalam menyelesaikan permasalahan sosial. Peran kedua mahasiswa sebagai palu adalah alternatif berikutnya yang ditempuh ketika peran sebagai alarm tidak membuahkan solusi pasti. Pada tahap ini gerakan mahasiswa langsung berdampak pada perubahan sosial. Mahasiswa tidak lagi bersifat pasif, akan tetapi aktif dalam melakukan perubahan sosial. Peran mahasiswa dalam melakukan kontrol sosial mutlak diperlukan untuk mencegah adanya akumulasi kekuasaan di tubuh pemerintahan yang sedang berjalan. Kebekuan gerakan mahasiswa selama 32 tahun pada masa pemerintahan Soeharto menjadi jalan bebas hambatan bagi pemerintah saat itu dalam mengabadikan kekuasaan. Fakta ini membuktikan bahwa mahasiswa sebagai kontrol sosial menjadi garda terdepan dalam menjaga kestabilan sosial. Fungsi taktis yang menopang peran mahasiswa dalam mengawasi pemerintah bukan tanpa masalah. Saat ini mahasiswa mulai kehilangan format gerakan yang tepat dalam menjalankan fungsinya tersebut. Gerakan yang dilakukan mahasiswa harus bisa menjadi problem solver yang memecah kebuntuan polemik pemerintah yang berkuasa. Sudah saatnya mahasiswa kembali merevitalisasi gerakannya dalam mengawasi pemerintah. Melakukan aksi moral intelektual dalam memformat gerakan mahasiswa, menjaga idealisme tanpa melupakan realitas lingkungan, melakukan gerakan yang bersinergi dengan logika perut rakyat serta membangun sense of crisis mahasiswa. Dengan hal-hal tersebut mahasiswa dapat melakukan fungsi taktisnya dalam mengawasi pemerintah, dalam hal ini mahasiswa menjadikan pemerintah tidak sebagai musuh akan tetapi mitra menyejahterakan masyarakat

Jumat, 16 Oktober 2009

MASIHKAH NASINALISME ADA DI HATI PEMUDA DAN RAKJAT INDONESIA

MASIHKAH NASINALISME ADA DI HATI PEMUDA DAN RAKJAT INDONESIA

Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah Proklamasi Kebangsaan Indonesia yang merupakan ikrar tentang eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia yang telah tumbuh puluhan tahun dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945 mencapai titik kulminasi dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Hal itu membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia sudah merupakan faktor penentu perkembangan sejarah Indonesia – sejarah berdirinya negara Republik Indonesia.
Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama; kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia. Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dengan jelas dinyatakan “atas nama bangsa Indonesia”, sedang dalam Pembukaan UUD 1945 secara tegas dikatakan, "Segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Proklamasi Kebangsaan Indonesia tersebut dalam sejarah perkembangannya telah memberi makna yang sangat signifikan bagi nation building dan pemantapan kesadaran nasionalisme Indonesia. Proses pengembangan kesadaran nasionalisme Indonesia dipelopori oleh Bung Karno (terutama) sejak masa mudanya, yang berkeyakinan bahwa hanya dengan ide dan jiwa nasionalismelah sekat-sekat etnik, suku, agama, budaya dan tanah kelahiran bisa ditembus untuk menggalang persatuan perjuangan melawan kolonialisme. Dalam artikel-artikelnya, banyak pidato dan diskusinya masalah nasionalisme dengan gencar diperjuangkan oleh Bung Karno. Bahkan sekat-sekat ideologipun oleh Bung Karno ditebas tanpa ampun demi perjuangan tersebut (baca: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” yang ditulis Bung Karno 1926.).
Berdirinya Republik Indonesia tersebut telah memberi bukti bahwa nation Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tapi hidup-aktif dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa. Eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang tidak dapat dinegasikan oleh teori-teori atau analisis-analisis apapun. Analisis atau pandangan yang menyimpulkan bahwa “IndonesiĆ« bestaat niet” (Indonesia itu tidak ada) dengan alasan kata “Indonesia” berasal dari asing telah mengalami kegagalan, tidak laku dijajakan sebagai wacana untuk memanipulasi nasionalisme Indonesia dan untuk memecah belah bangsa serta integritas NKRI. Suka atau tidak suka, harus diakui keberadaan bangsa Indonesia dengan kesadaran nasionalismenya, dan keberadaan negara Indonesia dengan segala atributnya sebagai suatu fakta yang tidak dapat disangkal oleh siapapun.

Bicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak bisa menerapkan padanan dengan nasionalisme Barat. Sebab nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berpondasi Pancasila. Artinya nasionalisme tersebut bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Bung Karno disebut Socio-nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa/suku bangsa lain. Maka nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus ke sovinisme -- nasionalisme sempit – yang membenci bangsa/sukubangsa lain, menganggap bangsa/sukubangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul dll. sesuai dengan individualisme Barat. Nasionalisme Indonesia sampai tahun 1965 sudah mantap bersemayam di dada bangsa Indonesia. Tahap nation building telah tercapai dan bersiap-siaga untuk menuju ke tahap berikutnya – state building, yang terhambat dan rusak berat dalam perjuangan untuk nation building, perjuangan melawan pemberontakan-pemberontakan dan sisa-sisa kolonialisme. Tapi tahap perjuangan state building ini ternyata terpangkas oleh timbulnya peristiwa G30S dan berdirinya kekuasaan rezim Orde Baru/Jendral Soeharto.

Dewasa ini harus diakui bahwa kesadaran Nasionalisme sedang mengidap banyak masalah berat, yang memerlukan pembenahan secara serius. Kegagalan pembenahannya akan mempunyai dampak terhadap persatuan bangsa dan kesatuan negara Indonesia. Dengan kilas balik ke sejarah lampau, kita melihat jelas bahwa selama Indonesia dalam kekuasaan rezim Orba berlaku tatanan pemerintahan kediktatoran-militer yang anti demokrasi, anti national, anti HAM, anti hukum dan keadilan, yang menumpas ideal nasionalisme Indonesia. Kekuasaan demikian, yang berlangsung selama 32 tahun dan menggunakan pendekatan kekerasan, telah mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat, memperbodoh rakyat. Di sisi lain tindakan rezim Orba tersebut menumbuhkan kebencian rakyat mendasar, terutama rakyat luar Jawa yang merasakan kekayaan alamnya dijarah dan kebudayaannya dieliminir. Maka tidaklah salah kalau dikatakan terjadi penjajahan oleh rezim Orba/rezim Soeharto. Kolonialisme Orba ini meskipun hanya 32 tahun (suatu jangka waktu relatif pendek jika dibandingkan dengan penjajahan kolonialisme Belanda) menjajah Indonesia tapi kerusakan yang diakibatkannya telah menimbulkan krisis multi dimensional yang luar biasa, kemelaratan dan kesengsaraan rakyat yang tak terhingga. Dari situasi yang demikian itu rakyat daerah luar Jawa merasakan ketidak adilan yang sangat mendalam, yang mengakibatkan tumbuhnya benih-benih gerakan disintegrasi dalam negara Indonesia. Di samping itu konflik yang bernuansa SARA, mis.: antara suku Dayak dengan suku Madura (di Kalimantan), antara ummat Kristen dengan ummat Islam (di Maluku dan Sulawesi), penganiayaan fisik dan pengrusakan hartabenda etnik Tionghoa (di Jakarta) dll. adalah juga tengara retaknya bangunan nasionalisme Indonesia.

Maka dengan demikian menjadi jelas bahwa sumber keretakan bangunan nasionalisme tersebut, adalah kekuasaan rezim Orde Baru di bawah pimpinan jendral Soeharto. Tanpa mengetahui sumber malapetaka tersebut kita tidak akan bisa dengan tepat memperbaiki/menyehatkan nasionalisme Indonesia yang sedang sakit tersebut.
Sedang hujatan-hujatan terhadap “Pusat” tanpa kejelasan Pusat itu siapa, akan mengarah kepada solusi yang keblinger, yang hanya akan memperparah nasionalisme yang sedang sakit dewasa ini. Mengacu pada uraian di atas Pusat harus diartikan kekuasaan rezim Orba (termasuk rezim Habibie). Akan tidak benarlah kalau pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati dimasukkan dalam kategori Pusat yang harus dikutuk seperti rezim Orba. Sebab tanpa menutup kekurangan-kekurangannya pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati adalah pemerintahan reformasi yang terpaksa menerima warisan segala kebobrokan rezim Orba. Kedua pemerintahan tersebut tidak mungkin bisa memperbaiki keadaan negara yang amburadul dewasa ini, bahkan siapa pun yang akan memegang pemerintahan kelak. Kalau mereka bisa mengadakan seberapa pun perbaikan, itu adalah suatu kemajuan dan keberhasilan. Sedang pemlintiran kata “pusat” diidentikkan dengan suku Jawa (sehingga timbul tuduhan dijajah oleh Jawa), jelas hal itu bertujuan untuk menimbulkan rasa ketidaksenangan, permusuhan antara suku non-Jawa terhadap suku Jawa. Jadi kalau kita ingin mencari akar penyebab retaknya ideal nasionalisme Indonesia, tidak boleh tidak kita harus tunjuk hidung pada kekuasaan rezim Orde Baru/Soeharto, yang dengan kejam menjajah dan rakus menjarah kekayaan daerah.

Ada suatu pendapat bahwa nasionalisme rentan terhadap manipulasi (Arief Budiman). Pendapat tersebut tidak salah. Tapi perlu penegasan lebih lanjut, bahwa tidak hanya nasionalisme saja yang rentan manipulasi, pun hukum, demokrasi, humanisme, keadilan, Pancasila demikian juga. Kerentanan itu harus dipandang sebagai konsekwensi/akibat proses demokrasi yang belum mantap dan budaya orba yang masih eksis di semua lapangan kehidupan. Pengalaman tragedi bangsa dan negara selama 32 tahun dalam kekuasaan rezim orde baru telah membuktikan hal tersebut. Bahkan apa saja bisa dimanipulasi oleh rezim Orde Baru kala itu dengan segala cara termasuk politik kekerasan.

Tapi akan menuju ke kesimpulan sesat apabila kerentanan nasionalisme dikarenakan oleh bentuk negara: negara kesatuan atau negara federal, tanpa menunjukkan raison d’etre sesungguhnya yaitu politik diktatur-fasis penyelenggara negara yang berkuasa saat itu (orde baru). Sebab manakala seseorang tidak mengkaitkan kebobrokan bangsa dan negara ini dengan kekuasan rejim orde baru sebagai sumber penyebabnya, maka kesimpulannya akan tidak jujur dan tidak obyektif. Baik hal itu kebobrokan dalam bidang kehidupan bermasyarkat dan bernegara maupun dalam bidang-bidang khusus – hukum, keadilan HAM, ekonomi, moral/budaya. Dengan demikian, manakala seseorang mempersoalkan bentuk negara kesatuan RI sebagai penyebab rusaknya nasionalisme Indonesia tidak bisa dibenarkan. Dan dari situ, juga tidak dapat dibenarkan solusi pembentukan negara federasi sebagai penyembuh nasionalisme Indonesia yang sedang sakit dewasa ini.
Acuan pada kasus runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia tidaklah bisa membuktikan kebenaran tesis di atas. Pertama-tama, banyak orang dari permulaan tidak melihat bahwa sesungguhnya negara-negara tersebut adalah negara federasi. Bahkan sistem federasi Uni Soviet mempunyai struktur yang paling desentralistik di dunia : Uni Soviet sebagai Negara Federasi, terdiri a.l. negara bagian yang berbentuk federasi juga (misalnya negara bagian Rusia), sedang di dalam struktur beberapa negara-bagian yang lain terdapat republik-otonom, yang semuanya lengkap dengan segala alat perlengkapan negara. Tapi toh Negara Federasi Uni Soviet jatuh berantakan. Dengan demikian solusi pembentukan negara federal dalam kaitannya dengan masalah nasionalisme Indonesia tidak dapat dibenarkan.

Di samping itu masih ada lagi alasan-alasan yang tidak membenarkan solusi pembentukan negara federal di Indonesia:
a. Dalam situasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sangat rawan dewasa ini (gagasan) pembentukan negara federal sama artinya mengobarkan dan mempercepat proses disintegrasi. Sesungguhnya solusi pembentukaan otonomi luas bagi daerah-daerah sudah tepat sekali, meskipun realisasinya masih menghadapi kendala-kendala yang sangat serius.
b. Dalam membaca peta politik dewasa ini tampak bahwa kekuatan Orde Baru masih utuh di mana-mana, bahkan konsolidasinya makin menguat. Kalau pada era kejayaannya, semboyan “mempertahankan Negara Kesatuan (NKRI)”, semata-mata sebagai taktik untuk mempermudah realisasi strategi kolonialisme terhadap daerah-daerah. Maka dalam era reformasi dewasa ini gagasan pembentukan Negara Federal akan merupakan kesempatan bagus bagi kekuatan Orde Baru untuk mendirikan rezim-rezim Orba di daerah-daerah, sebab mereka memiliki sumber dana dan sumber daya manusia sangat besar.
Dari persoalan-persoalan yang terurai di atas, sampailah pada pertanyaan bagaimana perspektif nasionalisme Indonesia ini. Di kalangan masyarakat timbul pandangan pesimistik, yang menjadi dasar pendorong untuk pembenaran gagasan-gagasan disintegrasi. Tapi di samping itu terdapat pandangan optimistik yang cukup kuat. Penulis yang termasuk dalam golongan terakhir berpendapat, bahwa nasionalisme Indonesia bisa “sehat”, sebab sebagian besar rakyat Indonesia masih teguh jiwa patriotismenya, cinta bangsa dan tanah air Indonesia. Tapi hal itu sulit akan terjadi apabila tidak didasari oleh upaya-upaya serius oleh penyelenggara negara untuk:
1. Pembangunan ekonomi di semua daerah secara merata dan realisasi otonomi daerah secara luas.
2. Penegakan demokrasi yang tidak anarkhistik, supremasi hukum yang berkeadilan dan demokratik.
3. Penggalakan kehidupan bersuasana toleransi, aman-damai dan rukun dalam masyarakat yang multi agama, suku, etnik dan budaya.

Kegagalan atas upaya tersebut di atas akan mempercepat berlanjutnya proses penipisian kesadaran nasionalisme Indonesia, yang akan berakibat semaraknya gerakan disintegrasi bangsa dan negara. Inilah tugas berat pemerintahan Megawati dewasa ini. Tetapi tuntutan yang tidak proporsional terhadap Megawati adalah suatu kecupetan pikir. Sebab sebagai pemerintahan transisional dia tidak mungkin mensukseskan tugas-tugas di atas secara tuntas, dan cepat berhubung kerusakan yang diakibatkan oleh rezim Orba begitu hebat. Mungkin dalam waktu 10 tahun mendatang baru akan tampak hasil yang signifikan. Jadi kalau sekarang ini pemerintahan Megawati sudah “berhasil” menenteramkan kerusuhan-kerusuhan di Maluku, Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah; kalau dia berhasil mengerem laju proses disintegrasi di beberapa daerah, men”stabil”kan ekonomi sudah dapat dikatakan suatu kesuksesan. Maka adalah tugas kita semua untuk membantu pemerintahan Megawati dalam memperbaiki kerusakan-kerusakan negara dewasa ini. Penggoyangan pemerintahan Megawati, apalagi seruan penggulingan terhadapnya, adalah tindakan tidak bertanggung jawab dan berpenyakit kekanak-kanakan (kekiri-kirian), yang akan hanya menguntungkan kekuatan Orde Baru saja yang kini masih kuat bercokol di semua bidang. Memang pemerintahan Megawati memiliki tidak sedikit kekurangan, tapi itu adalah kekurangan obyektif dalam situasi transisi dewasa ini. Jadi strategi dan taktik perjuangan harus disesuaikan dengan peta politik dewasa ini.
Mau tidak mau PDI Perjuangan harus diakui sebagai benteng pertahanan nasionalisme (sosio-nasionalisme) yang kini menghadapi lawan politik yang tidak ringan. Maka perpecahan di dalam partai yang dilanjutkan dengan pembentukan partai-partai baru oleh beberapa tokoh yang nyempal, dapat disesalkan. Dan lebih disesalkan lagi “hantaman” dari salah satu keluarga Bung Karno sendiri terhadap pemerintahan Megawati. Bukankah itu semuanya merupakan tindakan pecah belah kekuatan nasionalis? Yang seharusnya mereka semua – kaum nasionalis – menyatukan diri mensukseskan tugas pemerintah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan akibat kezaliman rezim Orba? Dalam hal ini wajar adanya pertanyaan: siapa yang diuntungkan? Tentu saja jawabnya: kekuatan Orde Baru. Apakah ini bukan berarti terperangkap dalam skenario licin, licik dan jijik dari kekuatan Orde Baru? Mudah-mudahan kekuatan nasionalis menyadari hal tersebut dan bersatu dalam satu front perjuangan politik demi keselamatan Negara Kesatuan RI, Pancasila dan UUD 45. Hanya dengan demikian ada harapan besar untuk suksesnya penegakan ideal nasionalisme Indonesia yang telah dicabik-cabik oleh kekuasaan fasis Orde Baru.


Kamis, 15 Oktober 2009

KABINET BALAS JASA

KABINET BALAS JASA

Pengamat politik Yusuf Ahmad Dalam Diskusi Rutin FORMADEM Di Surakarta memprediksi kabinet yang terbentuk pada pemerintahan berikutnya, periode 2009-2014, akan kental dengan nuansa "balas jasa" politik. Fenomena ini, menurut dia, sebenarnya sudah terjadi pada Kabinet Indonesia Bersatu, Kabinet Gotong Royong di era Megawati, dan Kabinet Kesatuan Nasional pada masa Abdurrahman Wahid. Kabinet dengan latar "balas jasa", dikatakan coordinator nasional FORMADEM ini lebih bersifat politis. Salah satu faktornya karena presiden terpilih memiliki kekuatan dukungan parlemen yang minim. Kabinet 2009-2014 menurut Ketua Jamaah Ahlul Bidah Indonesia ini akan jauh lebih bersifat politik. SBY menang lagi, dia didukung koalisi partai-partai yang menuntut porsi di cabinet, Riak-riak tuntutan porsi di kabinet sudah mulai muncul dengan statement sejumlah parpol mengenai jatah yang akan didapatkan jika pasangan calon yang diusung meraih kemenangan. "Apakah presiden yang terpilih nanti bisa meminimalkan potensi pemenuhan 'balas jasa' politik? Kalau tidak, siap-siap saja agenda bangsa akan banyak yang terbengkalai. Apalagi, jika sinyalemen benar bahwa duduk di kabinet menjadi ATM (mesin penarik yang) bagi partai politik," Seharusnya, dalam pandanganYusuf pembentukan kabinet tidak sekadar mendasarkan pada sesuatu yang bersifat politis. Hal ini akan membuat banyak janji presiden kepada rakyat tidak akan terpenuhi dan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih akan sulit tercapai. Ia juga memberikan masukan, ke depannya capres dan cawapres hendaknya berakar dari kekuatan politik yang seimbang. "Kalau imbang, maka negosiasi koalisi di kabinet akan lebih diminimalkan," kata Yusuf Ahmad

Rabu, 26 Agustus 2009

NASIONALISME INDONESIA

NASIONALISME INDONESIA

Sosialisme dan nasionalisme radikal membuat Soekarno mencoba merumuskan sebuah ideologi nasional yang akan ia gunakan hingga akhir hayat yaitu Marhaenisme. Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek. Soekarno sudah menemukan suatu ideologi nasional yang dianggap cocok dengan situasi rakyat negerinya. Pada waktu itu memandang bahwa konsep marhaenisme lebih cocok sebagai ideologi nasional, Soekarno mencoba mencari strategi realistis bahwa tujuan ideologis atas nama Islam atau sosialisme sebetulnya harus melewati sebuah proses yang sama, yaitu Indonesia merdeka. Marhaenisme diterjemahkan soekarno sebagai sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah rasa kebangsaan yang terbentuk karena persamaan nasib dan kepentingan. Ia mengakui perbedaan di antara umat manusia, namun menentang kolonialisme dan kapitalisme. Sedangkan sosio-demokrasi mengakui hak setiap individu untuk hidup sejahtera bersama yang lain. Pada konsepsi tersebut, warna Marxis yang menentang individualisme dan menonjolkan pertentangan kelas, serta radikal tak terlihat. Marhaenisme adalah Marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. Marhaenisme adalah teori revolusi Dengan demikian kondisi perjuangan Marhaenis haruslah revolusioner dan didasarkan pada konsepsi dua tahap revolusi. Yang pertama adalah fase nasional demokratis dan yang kedua fase sosialis.

Soekarno sebagai penganut sejati tiga ideologi besar: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Tiga ideologi besar inilah yang kemudian dijadikan sebagai prinsip atau pegangan utuh dalam hidupnya. Kita menemukan ketiga-tiganya terepresentasi dalam diri Soekarno. Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme di Indonesia bagaimana antusisme Soekarno dalam melakukan ajakan kepada tiga ideologi tersebut. Soekarno memandang nasionalisme sebagai suatu paham yang harus senantiasa dijadikan nafas. Tanpa nasionalisme tak mungkin ada perjuangan dan pengorbanan yang signifikan untuk keberlanjutan hidup berbangsa dan bernegara. Kapitalisme di mata Soekarno adalah sebentuk ideologi yang cukup berbahaya karena akibat yang ditimbulkannya tidak lain adalah penindasan terhadap rakyat miskin. Karena itu dengan ideologi nasionalis, islam, sosialisme/marxismenya ia tidak ragu mengklaim bahwa kapitalisme sejatinya adalah bentuk dari kejahatan yang terselubung penindasan berkedok kesejahteraan dan keadilan. Karena kapitalismelah yang berperan menjadikan seseorang individualistis. Memahami nasionalisme tidak kemudian bersikap cinta tanah air dan antipati terhadap bangsa lain. Pemahaman semacam ini adalah bagian dari nasionalisme sempit yang tidak sejalan dengan paham Soekarno. Soekarno memberikan formula praksis tentang nasionalisme yang mengusung spirit kebangsaan, penuh martabat, dan tidak merendahkan bangsa lain. Demikian juga dengan Islamisme dan Sosialisme. Soekarno menyandingkan paham kedua-duanya dengan coba melakukan penentangan terhadap kapitalisme yang jelas-jelas mengakibatkan terjadinya kelas-kelas sosial yang destruktif.

Soekarno banyak mendapatkan pengetahuan Marxisme yang Soekarno coba mengapresiasi setiap kali terjadi dialog mengenai Marxisme. Sehingga pada akhirnya, ia betul-betul terpengaruh dan sesekali emosinya meledak-ledak ketika Marxisme dengan sosialismenya menyinggung bahaya kapitalisme terhadap dunia. Berbagai propaganda sosialis membuat Soekarno semakin yakin bahwa sosialisme sejatinya ingin mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang dikebiri oleh kaum pemodal (kapitalis). Sehingga berdasarkan pengaruh itulah Soekarno mengecam segala bentuk praktik imprealisme dan kapitalisme yang terjadi di mana-mana. Sedangkan ajaran Islam sendiri sebagai wujud dari Islamisme yang menjadi spirit Soekarno dalam menentang kapitalisme mengajarkan pentingnya kebersamaan dan kepedulian antarsesama. Islam mengecam perbuatan individualistik karena cenderung menafikan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat mendasar. Karena itu bagi Soekarno, spirit sosialisme adalah spirit Islamisme yang menyuarakan pentingnya keadilan sosial (social justice). Relegiusitas keberagamaan Soekarno berpijak pada semangat inklusifisme, yakni keterbukaan untuk menerima kebenaran yang ada pada agama lain. ia bukan penganut agama yang fanatik dan ekslusif. Sebagai orang muslim, religiusitas Soekarno tidak bisa diragukan lagi. kontroversial pada diri Soekarno sang Islamis sejati yang terbuka, mendasari keberagamannya dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena itu kemudian Soekarno menemukan makna dari kesejatian Islam yang sesungguhnya agama kasih sayang yang merepresentasikan nilai-nilai kemanusiaan.

Teori-teori tentang demokrasi dan sosialisme yang dikembangkan Soekarno bernuansa Islam. Soekarno mencoba menuangkan pemikiran-pemikiran yang sudah menjiwainya itu antara lain dengan menyebutkan tidak perlunya negara mengatur persoalan agama dan agama mengatur persoalan negara. Sebab meskipun agama dipisahkan dari negara, tidak berarti agama akan dikesampingkan dalam kehidupan kenegaraan. Juga tidak mungkin keputusan-keputusan politik negara akan bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang dianut masyarakat. Rumusan dasar negara menurut Soekarno Tanggal 1 juni 1945 Bung Karno menyampaikan pidatonya yang berisikan konsepsi usul tentang dasar falsafah negara yang diberi nama dengan pancasila yang berisikan. Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme, Perikemanusiaan atau Internasionalisme, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan yang Maha Esa. Dari kelima sila tersebut menurut Soekarno masih bisa diperas menjadi tiga yang disebut dengan Trisila yaitu : Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, Ketuhanan. Diperas lagi jadi satu yaitu Gotong Royong. Disini dapat kita ambil kesimpulan bahwa pancasila adalah Marhaenisme sebagai ideologi mengandung tiga unsur Ketuhanan yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi. Menurut Soekarno Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian abad lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia

Jumat, 21 Agustus 2009

TINJAUAN FILSAFAT IDEOLOGI BANGSA INDONESIA

TINJAUAN FILSAFAT IDEOLOGI BANGSA INDONESIA

Memberikan rumusan yang pasti tentang apa yang termuat dalam filsafat adalah suatu pekerjaan yang berani. Saya ingin mulai dari sini. Memang, para peminat filsafat, kita sulit mendefinisikan kata yang satu ini. Bahkan para filsuf ahli filsafat pun mengakuinya. Apa yang membuatnya demikian adalah oleh karena terdapatnya beragam-ragam paham, metode dan tujuan, yang dianut, ditempuh dan dituju oleh masing-masing filsuf. Namun, sebuah pengertian awal mesti diberikan. maksudnya sebagai kompas agar kita tidak tersesat arah di dalam perjalanan memahami filsafat. Mengingat maksud ini maka pengertian tersebut haruslah bersifat dapat dipahami oleh banyak orang, sehingga dapat dijadikan tempat berpijak bersama. Aristoteles mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. filsafat menyelidiki sebab dan asas.

Tinjauan filsafat terhadap sebuah konsep ideologi, berarti kita harus juga mengerti apa yang dimaksud dengan ideologi. Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu. secara umum ideologi dalam kehidupan sehari hari dan beberapa arah filosofis ideologi politis, atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak. tidak hanya sekadar pembentukan ide yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit. Jadi aspek yang paling dasar dalam pembangunan bangsa adalah menempa rasa identitas bangsa, banyak negara-negara yang kekurangan simbol-simbol konvensioal dan tradisi ke-nasionalannya. Dan satu cara mengikis ke-sukuan dan loyalitas sempit adalah dengan cara mengembangkan “agama politis” seperti Soekarno dengan Marhaenisme dan Pancasila.

Tantangan terhadap ideologi ditengah perkembangan kontemporer dari awal berdirinya bangsa Indonesia hingga saat ini tidak bisa dijawab dengan begitu saja, namun membutuhkan pemikiran yang matang agar fokus perhatiannya menjadi lebih jelas terhadap persoalan-persoalan yang ada dewasa ini, ideologi perlu keluar dari dirinya sendiri untuk mengenali problem yang ada, membicarakan serta menganalisa ideologi seorang tokoh perlu sikap yang ekstra hati-hati. Sekalipun ideologi merupakan persoalan yang berhubungan dengan sosial tetapi pemahamanya sangat individual dari seorang tokoh.

Banyak sudah kritik terhadap ideologi dikarenakan ideologi seringkali dipahami secara sempit dan eksklusif oleh para pengikutanya, disertai dengan perasaan dan pertarungan yang berlebihan terhadap ideologi yang lain. Dalam hal ini ideologi menjadi inovatif dan terlalu dimutlakkan pemahamannya dan kesakralan ajarannya. Lebih bersifat eksklusif-reaktif daripada pro-aktif terjebak dalam institusionalisme sehingga menjadi kurang dinamis. Kurang dinamisnya ideologi disebabkan oleh menguatnya identifikasi diri setiap kelompok sosial berdasarkan ideologi yang mereka anut atau dalam istilah disebut klaim kebenaran ideologi yang di anutnya (truth claim)

Dalam lahirnya sebuah ideologi tidak terlepas dari konteks sebuah peranan sosial yang akan di perjuangkannya, dalam hal ini ideologi sosial mengklaim mewakili suatu kelompok tertentu dalam bentuk sebuah pengaruh yang lebih luas, pada konteks Indonesia ideologi semula menjadi obligatio in supra solidum (pemersatu bangsa) berubah sebagai obligatio in contravertion solidum (pemecah bangsa) ada penyebab kerawanan dalam persaingan ideologi menjadi sebuah konflik, ideologi memang mampu menanam solidaritas sosial yang sangat kuat. Namun terkadang solidaritas ini bersifat eksklusif dan terbatas pada para pengikutnya sehingga sering di tunggangkan dalam konflik yang sebenarnya bersifat sosial.

Dalam hal ini ideologi tidak terlepas dari sebuah peranan sosial dan muatan sosial demi tercapainya tujuan, ideologi lebih cenderung dijadikan sebagai doktrin sebuah ajaran yang melandasi perjuangan demi tercapainya tujuan ideologi tersebut. Terbentuknya suatu bangsa dalam tatanan masyarakat yang luas tidak lepas dari peranan ideologi yang mendasarinya, Indonesia dalam perjuangannya juga tidak terlepas dari sebuah tujuan demi terciptanya tatanan masyarakat yang lebih teratur dan bermartabat sebagai suatu bangsa. Dalam hal ini ideologi yang dibawa mendasari perjuangannya dari awal tidaklah lepas dari seorang tokoh Indonesia adalah Ir. Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia, Proklamator Kemerdekaan dan pimpinan besar revolusi dengan ideologi Marhaenisme yang selanjutnya disempurnakan dalam pancasila

Sesungguhnya bagi kalangan Marhaenis Sejati, yang melakukan studi mendalam terhadap ideologi, sudah sejak lama mereka tidak berkutat lagi dengan masalah fragmentasi ideologis. Terutama begitu formulasi perumusan Marhenisme[1] sejak 1 Juni 1945 telah disempurnakan menjadi Pancasila yang telah dirumuskan bersama yang antara lain dilakukan dengan mengadopsi Sosialisme, Islam, kedalam suatu kesatuan pandang yang integral tentang apa itu yang dimaksud dengan Sosialisme Indonesia.

Islam dilihat oleh Soekarno sebagai agama yang progresif dan rasional, bukan seperti yang dipraktekkan di Indonesia. Kekolotan praktek Islam di Indonesia menurut Soekarno harus dirombak dan disesuaikan dengan kemajuan zaman, karena Islam modern yang dipahami Soekarno dianggap tidak bertentangan dengan ide-ide nasionalisme dan marxisme sebagaimana penafsiran Soekarno; Islam yang sejati tidaklah mengandung asas anti-nasionalis, Islam yang sejati tidak bertabiat anti sosialis selama kaum Islamis memusuhi faham-faham nasionalisme yang luas budi dan Marxisme yang besar selama itu kaum Islamis tidak berdiri diatas sirathal mustaqim selama itu tidaklah ia mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan sama sekali tidak mengatakan yang Islam itu setuju pada materialisme dan perbedaan sama sekali tidak melupakan bahwa Islam itu melebihi bangsa supernasional bahwa Islam sejati itu mengandung tabiat-tabiat sosialis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya menjadi kewajiban nasionalis.[2]

Marhaaenisme itu bukanlah lain melainkan Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi; Sosio-nasionalisme terdiri atas, Internasionalisme dan Nasionalisme, sedangkan Sosio-Demokrasi mencakup, demokrasi dan keadilan sosial, Oleh karena itu jelaslah baik “Pancasila” Soekarno maupun Lima Asas Yamin bukanlah lain melainkan pernyataan kembali (Restatement) empat segi Marhaenisme yang dirumuskan pada tahun 1933 ditambah Ke-Tuhanan. Dari Islam ketuhanan yang Maha Esa muncul dan Islam secara historis dan kultural Islam di Indonesia citra dan cerita yang sangat positif. Islam datang secara damai dan telah memberikan andil yang sangat besar dalam meningkatkan peradaban nusantara bahkan secara politis, Islam menjadi kekuatan dominan yang mampu menyangga dan mempersatukan penduduk nusantara yang bertebaran ini ke dalam sebuah identitas baru yang bernama Indonesia sekalipun pada akhirnya secara legal formal ikatan ke-Indonesiaan ini diatur dan diperkuat oleh administrasi dan ideologi negara.[3]

Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak terjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Soekarno telah mengadopsi pemikiran sosialis dan komunis. Ajaran yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Soekarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik. Soekarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Soekarno benar-benar menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis. Selanjutnya Soekarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Soekarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Soekarno menandaskan bahwa tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Soekarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas. Kediktatoran Soekarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai.[4]

Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme. Pokok- Pokok Ajaran Marhaenisme mengangkat masalah penghisapan dan penindasan rakyat kecil yang terdiri dari kaum tani miskin, petani kecil, buruh miskin, pedagang kecil kaum melarat Indonesia yang dilakukan oleh para kapitalis, tuan-tanah, rentenir dan golongan-golongan penghisap lainnya. Ungkapan yang sering dipakai oleh Bung Karno, dan yang paling terkenal, adalah exploitation de l’homme par l’homme (penghisapan manusia oleh manusia) Marhaenisme Pemikiran Bung karno dalam hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa baginya, kepentingan rakyat adalah tujuan akhir dari segala-galanya.

Arah gerakan sosial pada umumnya akan mengikuti dua pola yang berbeda. Pertama; gerakan sosial antagonistik yang ditransformasikan ke dalam kekuatan politik dan perubahan yang terinstitusionalisasi. Kedua; gerakan sosial yang mengalami transformasi menjadi political rupture ketika mekanisme institusionalisasi terhenti.[5] Dalam benak Soekarno memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar oleh karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa diartikan bahwa kaum tani dan kaum lain-lain kaum melarat tidak termaktub di dalamnya. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang dalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen. Marhaenisme adalah pula cara perjungan untuk mencapai susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya harus suatu cara perjungan yang revolusioner. Jadi Marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang ditujukan terhadap hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan Imperialisme. Marhaenisme adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang menjalankan Marhaenisme.[6]

Ideologi yang sama mendasari pancasila, lima prinsip yang dikemukakan Soekarno sebagai dasar Indonesia merdeka. Prinsip percaya kepada Tuhan yang Maha Esa dengan tidak memandang agama seseorang, sesuai dengan ajaran Teosofi tentang keesaan Tuhan dan prinsip-prinsip nasionalisme, internasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial. Harus diusahakan melalui struktur yang berpusat pada titik ketuhanan yang satu yang menjadi titik tolak pernyataan Soekarno. Dalam masyarakat semacam itu sama rata sama rasa selalu dapat diwujudkan dan pada waktu yang sama dianggap dapat terlaksana melalui prinsip yang berfungsi dalam apa yang disebut keluarga. Perkembangan sepenuhnya dalam prinsip demikian dalam arena politik menimbulkan sistem Soekarno suatu struktur ideologi yang berpusat pada Soekarno, semua unsur heterogen bertemu dan bersatu padanya, semboyan Bhineka Tunggal Ika, kesatuan dalam keragaman, akan terwujud dalam diri Soekarno. Ini berarti bahwa semua unsur akan diatur dan diberi cara eksistensinya oleh pusat dan hasilnya berbagai hierarki muncul, masing-masing dengan Soekarno sebagai Puncaknya.[7]

Dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui tinjauan filsafat terhadap kosep sosial ideology marhaenisme soekarno, ideology marhaenisme sendiri banyak mengandung unsur-unsur pemikiran yang dikemas menjadi satu yang didalamnya terdapat islam, sosialis, komunis, dsb. Bentuk filsafat yang hadir dalam konsep sosial ideology ini akan mewakili tokoh yang akan kita bahas. Bagi penulis, mengenalisa filsafat dalam sebuah ideology merupakan bentuk tulisan yang menarik untuk dikaji karena memiliki makna yang dalam. Dari makna yang mendalam ini dapat ditemukan nilai ideologis dari konsep social yang merupakan salah satu cabang filsafat. Tinjauan filsafat terhadap konsep sosial ideology marhaenisme menjadi kajian yang penting untuk diteliti dalam ilmu-ilmu keushuludinan.



[1] (Dalam hal ini Marhaenisme yang semula hasil dari revisi total Bung Karno terhadap prinsip-prinsip dasar marxisme, sejak kekalahan PKI dalam pembrontakan melawan pemerintahan kolonial 1926)

[2] Saksono, Ing. Gatut, Marhaenisme Bungkarno Marxisme Ala Indonesia, Ardana Media, Yogyakarta 2008. hlm.36-37

[3] Rahardjo, Dawan Prof. Dr. M, Mewujudkan Satu Umat, Pustaka Zaman : Jakarta, 2002. hlm. 8-9.

[4] Op. Cit. Ing. Gatut Saksono, hlm.51

[5] Op. Cit. Rahardjo, Dawan Prof. Dr. M 36-37.

[6] Soekarno, Gerakan Melawan Penindasan, Pustaka Kendi : Yogyakarta, 2001, hlm. 233-234.

[7] Kenji Tsuchiya, Demokrasi dan Kepemimpinan Gerakan Taman Siswa, Balai Pustaka : Jakarta, 1992, hlm. 361-362.

Kamis, 28 Mei 2009

BANGKITLAH "SOSIALISME" BERONTAKLAH

BANGKITLAH "SOSIALISME" BERONTAKLAH

Sosialisme, seperrti telah dikemukakan, mula-mula muncul sebagai sebagai reaksi terhadap kondisi buruk yang dialami rakyat di bawah sistem kapitalisme liberal yang tamak dan murtad. Kondisi buruk terutama dialami kaum pekerja atau buruh yang bekerja di pabrik-pabrik dan pusat-pusat sarana produksi dan transportasi. Sejumlah kaum cendekiawan muncul untuk membela hak-hak kaum buruh dan menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan dan kelas masyarakat dalam menikmati kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran. Mereka menginginkan pembagian keadilan dalam ekonomi Di antara tokoh-tokoh awal penganjur sosialisme dapat disebut antara lain: St. Simon (1769-1873), Fourisee (1770-1837) , Robert Owen (1771-1858) dan Louise Blane (1813-1882). Setelah itu baru muncul tokoh-tokoh seperti Proudhon, Marx, Engels, Bakunin dan lain sebagainya.
Ditengah kehidupan masyarakat, banyak sumber pengetahuan yang bersifat taken for granted, sumber tanpa perlu diolah lagi tetapi diyakini akan membantu memahami realitas kehidupan ini. Masyarakat dapat langsung begitu saja memakai pengetahuan taken for granted tersebut sebagai sebuah pegangan yang diyakini benar atau berguna untuk meemmahami dunia dimana ia hidup. Jenis pengetahuan tanpa diolah lagi tentu saja banyak dan tersebar, mulai dari system keyakinan, tradisi agama, pandangan hidup ideology, paradigma dan juga teori, dan termasuk didalamnya teori social. Dalam masyarakat intelektual, terutama dalam tradisi positivisme lazim untuk mengambil sumber pengetahuan taken forr granted tersebut dari ranah paradigma dan teori. Kendati demikian, teori sebenarnnya bukan hanya untuk kalangan intelektual atau kalangan expert, mesti tidak sedikit yang berpandaangan hanya kalangan intelektual atau akademisi saja yang membaca realitas social tidak dengan telanjang, melainkan dengan kacamata teori tertentu. Memanga telah menjadi tradisi dikalangan intelektual dalam membaca realitas social dengan menggunakan kacamata atau teori tertentu.
Paradigama social mengacu pada orientasi perceptual dan kognitif yang dipakai oleh masyarakat komunikatif untuk memahami dan menjelaskan aspek tertentu dalam kehidupan social. Paradigma social terbatas pada pandangan dua hal; pertama, paradigma social yang hanya dimiliki oleh kalangan terbatas dan tidak memlulu diterima oleh anggota masyarakat. Masyarakat yang menerima paradigma ini masyarakat ilmiah, terciptanya komunikasi guna menciptakan paradigma social. Kedua, paradigma sosial yang berlaku dalam aspek tertentu dari kehidupan dan bukan aspek yang menyeluruh. Paradigma social lebih terbatas dalam ruang lingkung penerimaan dari pada pandangan dunia yang berlaku, sebagai element dasar dari paradigma social merupakan pandangan dunia baik dalam komponen dasar, keyakinan atau system keyakinan dan nilai-nilai yang terkait. Sebagaimana dalam pandangan Stephen Cotgrove paradigma memberikan kerangka makna, sehingga pengalaman memberikan makna dan dapat dipahami.
Jiwa Islam berontak terhadap kapitalisme yang menghisap dan menindas, yang menurunkan derajat manusia, yang membawa sistem yang lebih jahat daripada perbudakan, daripada feodalisme. Dunia ini kepuyaan Allah semata-mata yang disediakan untuk tempat kediaman manusia sementara, dalam perjalanannya menuju dunia baka. Kewajiban manusia tidaklah memiliki dunia, yang kepunyaan Allah, melainkan memeliharanya sebagaik-baiknya dan meninggalkannya (mewariskan) kepada angkatan kemudian dalam keadaan yang lebih baik dari yang diterimanya dari angkatan terdahulu.
Tema keadilan sosial dalam Islam ditopang oleh paham tentang persamaan manusia atau egalitarianisme yang menekankan kepada persamaan kesempatan, selain persamaan hak dan kewajiban. Tetapi karena tingkat kemampuan dan ikhtiar manusia berbeda-beda, maka timbul pula keragaman atas hasil usahanya. Karena itu Islam tidak setuju dengan paham komunisme yang bersemboyan "sama rata sama rasa" dengan akibat kebijakan dihapuskan hak-hak individual di atas hak masyarakat. Demikian pula pemilikan perorangan tetap dihormati, hanya saja diberi batasan agar tidak menimbulkan kesenjangan. Harta juga harus dibelajankan di jalan Allah, artinya ia harus dibelanjakan di jalan yang halal, seperti untuk menolong dan membantu sesama manusia yang memerlukannya disebabkan kekurangan, kemalangan dan lain sebagainya
Realitas sekarang merupakan era post modernisme dimana dalam zaman ini merupakan kritik terhadap modernism dan patologi yang dihadapinya. Post modernisme memiliki cirri yang penting adalah de-differentiation. Post-modernism merupakan penyapaan kembali antara agama dan ilmu pengethuan dan tidak berdiri sendiri atau terpisah. Agama sebagai ispirasi dan sumber nilai/etik dari ilmu pengetahuan. Penyapaan terhadap agama dari ilmu pengetahuan ini yang mencoba melakukan integrasi antara ilmu dengan agama guna menjawab problem modernitas dimana terjadinya dehumanisasi dan kerusakan ekologi. Melihat era sekarang maka ISP memiliki peluang agar dapat diterima sebagai salah satu disiplin ilmu dikarenakan ISP mencoba melakukan integrasi antara ilmu pengetahuan dengan agama. Agama menjadikan nilai untuk melakukan transformasi social dan pengintegrasian nilai-nilai agama dalam masyarakat sehingga betuk transformasinya pun ada arahan kemana transformasi itu akan dibawa. Dengan ISP sebagai alat transformasi sedangkan bentuk transformasinya merupakan transfomasi profetik guna mewujudkan Khoirul Umat

Jumat, 23 Januari 2009

GERAKAN MAHASISWA ADALAH GERAKAN RAS-PEMBERONTAK



GERAKAN MAHASISWA ADALAH GERAKAN RAS-PEMBERONTAK

Gerakan mahasiswa adalah Gerakan Ras-Pemberontak telah menjadi fenomen penting dalam perubahan politik yang terjadi di Indonesia. Presiden Soeharto, krisis ekonomi melanda Indonesia yang diakibatkan pengendalian sumber daya keuangan yang tidak proporsional. Bantuan luar negeri yang semula membantu proses pembangunan menjadi sandara utama dalam pembiyaan modernisasi. Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat berpendidikan dan sehari-harinya bergelut dengan pencarian kebenaran dalam kampus melihat kenyataan yang berbeda dalam kehidupan nasionalnya. Kegelisahan kalangan mahasiswa ini kemudian teraktualisasikan dalam aksi-aksi protes yang kemudian mendorong perubahan yang reformatif dalam sistem politik di Indonesia. gerakan mahasiswa dalam kerangka yang teoritis terutama menyangkut peran mahasiswa dalam reformasi politik sebuah negara seperti Indonesia. Dengan analisa tentang karakteristik mahasiswa yang dilanjutkan dengan peran mereka sebagai kekuatan moral dan kekuatan massa dalam reformasi politik
Karakteristik Mahasiswa
Ras-Pemberontak dari mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas. ada lima fungsi kaum intelektual yakni mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan dan bersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik. Arbi Sanit memandang, mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir. Sementara itu Samuel Huntington menyebutkan bahwa kaum intelektual di perkotaan merupakan bagian yang mendorong perubahan politik yang disebut reformasi.
Ras-Pemberontak adalah pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
Sebagai Gerakan Moral
Ras-Pemberontak muncul sebagai Gerakan mahasiswa merupakan bagian dari gerakan sosial yang didefinisikan sebagai upaya kolektif untuk memajukan atau melawan perubahan dalam sebuah masyarakat atau kelompok. bahwa gerakan sosial merujuk pada berbagai ragam usaha kolektif untuk mengadakan perubahan tertentu pada lembaga-lembaga sosial atau menciptakan orde baru. Ras-Pemberontak menilai bahwa gerakan sosial bertujuan untuk mengadakan perubahan. Teori awal menyebutkan, sebuah gerakan muncul ketika masyarakat menghadapi hambatan struktural karena perubahan sosial yang cepat Teori kemacetan ini berpendapat bahwa “pengaturan lagi struktural dalam masyarakat seperti urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan hilangnya kontrol sosial dan meningkatkan “gelombang menuju perilaku antisosial”. Kemacetan sistemik ini dikatakan menjadi penyebab meningkatnya aksi mogok, kekerasan kolektif dan gerakan sosial dan mahasiswa Pakar kontemporer tentang gerakan sosial mengkritik teori-teori kemacetan dengan alasan empirik dan teoritis.
Tiga kondisi lahirnya gerakan sosial seperti gerakan mahasiswa. Pertama, gerakan sosial dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Pemerintahan yang moderat, misalnya memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter. Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak yang dirugikan dan kemudian meluasnya gerakan sosial.Ketiga, gerakan sosial semata-masa masalah kemampuan kepemimpinan dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi terlibat dalam gerakan.Gerakan mahasiswa mengaktualisikan potensinya melalui sikap-sikap dan pernyataan yang bersifat imbauan moral. Mereka mendorong perubahan dengan mengetengahkan isu-isu moral sesuai sifatnya yang bersifat ideal. Ciri khas gerakan mahasiswa ini adalah mengaktualisasikan nilai-nilai ideal mereka karena ketidakpuasan terhadap lingkungan sekitarnya.
Gerakan moral Ras-Pemberontak menilai sebenarnya sikap moral mahasiswa lahir dari karakteristiknya mereka sendiri. Mahasiswa sering menenkankan peranannya sebagai “kekuatan moral” dan bukannya “kekuatan politik”. Aksi protes yang dialncarkan mahassiwa berupa demonstrasi di jalan dinilai juga sebagai sebuah kekuatan moral karena mahasiswa bertindak tidak seperti organisasi sosial politik yang memiliki kepentingan praktis juga menambahkan, konsep gerakan moral bagi gerakan mahasiswa pada dasarnya adalah sebuah konsep yang menganggap gerakan mahasiswa hanyalah merupakan kekuatan pendobrak, ketika terjadi kemacetan dalam sistem politik. Setelah pendobrakan dillakukan maka adalah tugas kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam hal ini partai-partai atau organisasi politik yang lebih mapan yang melakukan pembenahan. Sependapat dengan komitmen mahasiswa yang masih murni terhadap moral berdasarkan pergulatan keseharian mereka dalam mencari dan menemukan kebenaran lewat ilmu pengetahuan yang digeluti adalah sadar politik mahasiswa. Karena itu politik mahasiswa digolongkan sebagai kekuatan moral. Kemurnian sikap dan tingkahlaku ,mahassiwa menyebabkan mereka dikategorikan sebagai kekuatan moral, yang dengan sendirinya memerankan politik moral.
Gerakan Massa
Namun seperti halnya gerakan sosial umumnya senantiasa melibatkan pengorganisasian. Melalui organisasi inilah gerakan mahasiswa melakukan pula aksi massa, demonstrasi dan sejumlah aksi lainnya untuk mendorong kepentingannya. Dengan kata lain gerakan massa turun ke jalan atau aksi pendudukan gedung-gedung publik merupakan salah satu jalan untuk mendorong tuntutan mereka. Dalam mewujudkan fungsi sebagai kaum intelektual itu mahasiswa memainkan peran sosial mulai dari pemikir, pemimpin dan pelaksana. Sebagai pemikir mahasiswa mencoba menyusun dan menawarkan gagasan tentang arah dan pengembangan masyarakat. Peran kepemimpinan dilakukan dengan aktivitas dalam mendorong dan menggerakan masyarakat. Sedangkan keterlibatan mereka dalam aksi sosial, budaya dan politik di sepanjang sejarah merupakan perwujudan dari peran pelaksanaan tersebut. Upaya mahasiswa membangun organiasai sebagai alat bagi pelaksanaan fungsi intelektual dan peran tidak lepas dari kekhawasannya. Motif mahasiswa membangun organisasi adalah untuk membangun dan memperlihatkan identitas mereka didalam merealisasikan peran-peran dalam masyarakatnya. Bahkan mereka membangun organisasi karena yakin akan kemampuan lembaga masyarakat tersebut sebagai alat perjuangan. Bentuk-bentuk gerakan mahasiswa mulai dari aktivias intelektual yang kritis melalui seminar, diskusi dan penelitian merupakan bentuk aktualisasi .Selain kegiatan ilmiah, gerakan mahasiswa juga menyuarakan sikap moralnya dalam bentuk petisi, pernyataan dan suara protes. Bentuk-bentuk konservatif ini kemudian berkembang menjadi radikalisme yang dimulai dari aksi demonstrasi di dalam kampus. Secara perlahan karena perkembangan di lapangan dan keberanian mahasiswa maka aksi protes dilanjutkan dengan turun ke jalan-jalan.
Bentuk lain dari aktualisasi peran gerakan mahasiswa ini dilakukan dengan menurunkan massa mahasiwa dalam jumlah besar dan serentak. Kemudian mahasiswa ini mendorong desakan reformasi politiknya melakukan pendudukan atas bangunan pemerintah dan menyerukan pemboikotan. Untuk mencapai cita-cita moral politik mahasiwa ini maka muncul berbagai bentuk aksi seperti umumnya terjadi dalam, gerakan sosial.
Demonstrasi Ras-Pemberontak yang dilakukan mahasiswa fungsinya sebagai penguat tuntutan bukan sebagai kekuatan pendobrak penguasa. Strategi demonstrasi diluar kampuan merupakan bagian dari upaya membangkitkan semangat massa mahasiswa.
Peran mahasiswa sebagai gerakan moral dan gerakan massa untuk mendorong reformasi politik adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai kaum intelektual. Berbeda dengan gerakan revolusi, gerakan reformasi berbeda dengan gerakan revolusi yang mengejar perubahan struktural yang fundamental. Gerakan reformasi berusaha memodifikasi hubungan struktural tanpa mengancam eksistensi insitusi. ada dua tahap dalam reformasi politik. Pertama, tahap transisi yang merupakan proses peralihan dari proses krisis politik ke proses normal kehidupan politik. Di tahap transisi, pemicu proses reformasi akan mengawalti aktualisasinya. Ada lima kemungkinan peristiwa politik yang berpotensi menjadi pemicu yang akan mengawali berlangsungnya proses reformasi politik yaitu kudeta, kesadaran penguasa, tekanan publik opini kepada penguasa, presiden meninggal dan people’s power yang aktif dan kuat.
Tahap kedua, reformasi normal dimana reformasi dilakukan dalam kerangka sistem politik yang ada. Reformasi normal ini dilakukan melalui reformasi suprastruktur dan infrastruktur.

MAHASISWA ADALAH RAS PEMBERONTAK




MAHASISWA ADALAH RAS PEMBERONTAK

Diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.
Bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam tulisan singkat ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Oleh karenanya, penulis menyadari bahwa deskripsi singkat dalam artikel ini belum seutuhnya menggambarkan korelasi positif antara pemihakan terhadap ideologi tertentu dengan kepeloporan yang dimiliki dalam menengahi konflik yang ada. Mungkin bisa dikatakan artikel ini lebih banyak mengacu pada refleksi diskursus-diskursus politik kekuasaan otoritarian Orde Baru yang sengit dilakukan di kalangan aktifis mahasiswa dalam dekade 90-an. Di mana sebagian besar gerakan-gerakan mahasiswa yang terjadi kala itu, penulis ikut terlibat di dalamnya. Tentunya, pendekatan analisis dalam artikel ini lebih mengacu pada gerakan mahasiswa pro-demokrasi jauh sebelum maraknya gerakan mahasiswa dalam satu tahun terakhir ini, yang akhirnya mengantarkan pada pengunduran diri Presiden Soeharto.
Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Maka, diskursus-diskursus kritis seputar konstelasi politik yang tengah terjadi kerap dilakukan sebagai sajian wajib yang mesti disuguhkan serta dianggap sebagai tradisi yang melekat pada kehidupan gerakan mahasiswa.
Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas".
Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.
Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik yang bakal membius semangat juang lebih radikal. Semisal, ungkapan "menentang ketidakadilan dan mengoreksi kepemimpinan yang terbukti korup dan gagal" lebih mengena dalam menggugah semangat juang agar lebih militan dan radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa --- jika dibandingkan dengan intelektual profesional ---- lebih punya keahlian dan efektif.
Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain meniringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekauatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif ( ingat teori snow bowling)..
Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa pengulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani.